Al- Quran Pembentuk Kesalehan Bukan Kekerasan

B W A K M E g y p t-
Memahami konsep kesalehan tidak bisa lepas dari namanya pendidikan, dan pendidikan yang baik di zaman sekarang adalah pendidikan akhlak, karena akhlak yang akan menentukan arah kehidupan manusia bisa terkontrol; baik dari segi intraksi sosial atau pun intraksi bersama Tuhan. Dalam Islam, konsep kesalehan ini telah menjadi inti pengantar nabi Muhammad saat diutus Allah menyebarkan agama Islam ke masyarakat Arab-Quraish.
Hadist yang sering digunakan untuk menguatkan pendapat tentang akhlak berbunyi
“ sesengguhnya saya diutus untuk menyempurnakan akhlak “ .
Akhlak yang menjadi sorotan Nabi pada masa itu adalah problem paling utama yang harus dibenahi, sebelum beralih kemasalah hukum-hukum yang besifat yurispuden. Pembenahan masalah akhlak ini dikuatkan Allah melalui firmannya yang disampaikan oleh malaikat Jibril; guna menenangkan jiwa Nabi saat problem yang dihadapi tidak kelar-kelar. Akhirnya Nabi menjadikan firman Allah itu menjadi landasan utama dalam menentukan sebuah putusan; Firman Allah ini berupa kitab suci al-Qur’an.

Al-Qur’an, dari masa ke masa tetap kukuh sebagai sumber utama dalam pemutusan sebuah hukum. Posisinya sangat sentral, sehingga meninggalkan al-Qur’an seperti membunuh diri sendiri. Dalam sejarahnya, Nabi tidak berani memutuskan atau menjawab pertanyaan sebelum turun wahyu; dalam hal ini berupa al-Qur’an. Sehingga beliau merasa resah ketika wahyu tidak turun-turun kepadanya saat ada penduduk Quraish bertanya kepada Nabi tentang suatu hal, baik masalah akidah, kiamat, sosial dan lain-lainnya. Penegasan untuk penggunaan al-Qur’an sebagai sumber tercermin juga dalam sabdanya saat beliau mau wafat.
Dalam perkembangannya; yakni perkembangan masa, zaman, pemeluk, dan segala jenis kekuasaan yang masih berkaitan dengan Islam, al-Qur’an menjadi pegangan paling utama dalam memberikan dan menjelaskan sebuah hukum, jika hukum yang dicari belum didapat, barulah para ulama berganti menggunakan hadist, jika di hadist juga tidak dapat, para ulama menggunakan ijma’ dan ijtihad. Dan selanjutnya, ijtihad ini mempunyai macam perkembangan, ada yang menerjemahkan sebagai qiyas, istihsan, istishab, mashalih mursalah dan lain-lainnya. Konsep yang terus berkembang dalam menentukan hukum ini tetap menjadikan al-Qur’an sebagai sumber teks paling primer.

Hasil penerjemahan dari teks primer ini dikonsepkan menjadi kaidah feqih, maqosid syarih, ilmu tafsir, dan ilmu-ilmu Islam lainnya. Tujuan yang terumuskan dari konsep ini adalah menjaga pemahaman al-Qur’an dari pemahaman salah serta memberi petunjuk kepada manusia disegala masalahnya, Atau kata lain kesalehan dan kesadaran untuk membentuk karaktek manusia yang bisa bertanggung jawab dan berakhlak baik, seperti akhlak al-Qur’an. Dari gambaran konsep otoritas ini, sebagai fungsi prolog dan penjembatan ke dalam esensi maksud dari terciptanya kesalehan dari otoritas kalam ilahi, semoga bisa benar-benar menvisualisasikan pembaca ke arah penulis yang ingin bidik. Yakni, manusia dengan segala kelemahannya tidak membuatnya sombong dengan mengatakan bahwa segala kenikmatan yang telah ia dapat adalah dari usahanya, tetapi semua itu adalah pemberian Allah. Jika ia masih bersikeras mengakui sebagai usahanya, ia termasuk orang yang telah melanggar pesan ilahi.

LAHIRNYA OTORITAS TUHAN

Allah telah berfirman di dalam kitab sucinya al-Qur’an sebagai dzat yang menjaga keorisinilan al-Qur’an. Di sana di sebutkan dhomir انا dan نحن yang penulis artikan sebagai proses penjagaan Allah lewat hamba-hambanya yang soleh, dalam artian, pernyataan ini tidak keluar dari konteks-konteks yang telah ditafsirkan oleh para ulama salaf pada masa dahulu. Pernyataan yang dilakukan penulis ini hanya berfungsi sebagai penekanan bahwa Allah benar-benar menjaga al-Qur’an dari perubahan-perubahan lafadz, cara baca, kalimat, dari orang yang mempunyai niat jahat ke sana. Hal ini menjadi sorotan utama, karena dalam sejarah al-Kitab (baca : kitab-kitab nabi masa dahulu) selalu diubah isi dan tulisannya oleh para ulama yang hidup pada eranya, sehingga kitab yang sampai pada era selanjutnya tidak orisinil lagi. Dan jika ada yang masih orisinil, itu tidak banyak, hanya beberapa saja bagi mereka yang tetap taat pada ajaran agama. Otoritas ini dikhususkan untuk al-Qur’an karena kitab-kitab dahulu sudah pernah diamanatkan kepada para rahib atau ulama tapi amanat ini diselewengkan dengan mengganti ayat-ayat yang sudah dipahami dengan sesuatu yang bersifat pribadi. Ini terbuti kehadiran kitab Talmud bertentangan banyak dengan nilai-nilai al-Qur’an yang sifatnya merangkum segala esensi kitab-kitab Allah yang telah diberikan kepada nabi masa dulu. Begitu juga kitab injil, baik perjanjian lama maupun baru, banyak mempunyai redaksi berbeda, dan maksud berbeda dari injil-injil perbedaan cetakan mempunyai perbedaan arti tapi hal ini tidak ada di al-Qur’an. Sehingga ketika ada perdebatan antara kitab injil dengan al-Qur’an, banyak argumentasi dari injil mempunyai kelemahan.
Ini bukan bermaksud memihak atau fanatisme, tapi mencoba menilai perdebatan yang sedang terjadi, seperti yang dilakukan oleh DR. Dzakir naik dengan DR. William Cambel yang kedudukannya sama-sama seorang cendekiwan, dokter, dan orang yang taat agama. Meskipun dalam perdebatan di sana, tidak disebutkan kesimpulan siapa yang kalah dan menang, karena sifat diskusi di sini, menurut penulis sebagai pembuktian kepada publik kedahsyatan al-Qur’an; ia tetap bisa hadir sebagai mukjizat abad 21, meski turun di masa sebelum modern dan kuno. Kesalehan yang terjadi ini, adalah wujud kesalehan nabi Muhammad dan para umat-umatnya, khususnya para sahabatnya, karena di masa para sahabat, al-Qur’an bisa berwujud mushaf dan rapi.

Sehingga umat Islam setelah masa sahabat bisa menikamti al-Qur’an dan mempelajarinya sampai bisa membuahkan metodologi yang berupa ilmu tafsir, qiraat, nahwu dan ilmu-ilmu Islam lainya. Dari sini bisa ditarik sedikit benang merah tentang eksistensi al-Qur’an sebagai wujud kesalehan adalah berupa ikhlasnya para ulama Islam menyalin dan menghafalkan al-Qur’an sampai meresap ke dalam tulang belulang. Maka tak heran, jika ulama pada masa dahulu sangat begitu mengusai isi dan kandungan al-Qur’an karena langsung mempraktekan apa yang mereka pahami dari al-Qur’an dengan tujuan agar merak tidak lupa.

Metode yang dipakai cukup sederhana sekali, menghafalkan sedikit demi sedikit dan terus mengulang-ulangnya sampai terasa benar-benar memahami. Kemudian baru beralih ke ayat yang lainya. Ini bisa kita lihat dari hadist yang diriwayatkan oleh Abdurrohman Salmy bahwasannya Rosul menyuruh para sahabatnya untuk mengulang-ulang ayat al-Qur’an sepuluh ayat sepuluh ayat sampai mereka benar-benar menguasai, baru kemudian melanjutkan ayat seterusnya. Tradisi menghafal seperti ini juga diwariskan ke pada para tabiin, meskipun pada masa ini banyak juga perubahan atau konspirasi politik yang mempengaruhi.

Tapi hal itu bisa diatasi dengan tetap lahirnya para mufasir handal seperti mujahid, dan Ibnu Katsir atau lain-lainnya. Dan untuk Penggeseran tentang keahlian dalam penfsiran mulai terlihat lemah atau tepatnya kurang sesuai konteks di masa pusat pemerintahan sering berpindah dari tempat satu ketempat lainnya, sehingga pusat keilmuan otomatis berpindah pula. Sehingga yang harus disadari di sini, selain tercampurnya orang asing dengan orang Arab, peran pemerintah sangat berpengaruh sekali, karena pemerintah mempunyai kekayaan untuk membiyayai penilitian-penilitian di sedang lakukan. Jika pusat pemerintah pindah, maka dipusat pemerintah awal menjadi sepi, orang-orang yang berkunjung ke sana juga sepi. Meskipun proteksi keorisinilan al-Qur’an telah dilakukan, masih ada juga pihak-pihak yang menuduh bahwa al-Qur’an telah mengalami perubahan. Pihak ini ada dua tipe, pertama ,dari pihak Islam sendiri yang menganggap bahwa mushaf mereka adalah mushaf yang paling benar, kedua, pihak non-Islam yang mengatakan bahwa kitab al-Qur’an sekarang tidaklah sama seperti al-Qur’an pada masa nabi Muhammad, ada juga yang mengatakan al-Qur’an mempunyai banyak pertentangan karena ada tujuh bacaan yang berbeda, serta subhat-subahat lainnya. Dengan tegas, perubahan di dalam al-Qur’an dibantah oleh al-alamah Muhammad Zakkyiuddin sanadi dalam kitabnya Tanwir al-adhan fi al-Raddi ala muddaiy tahrifi al-Qur’an, bahwa al-Qur’an tidak mempunyai perubahan apapun baik dari segi apapun.

Begitu juga yang dilakukan Dr. Muhammad Abdullah diraz dalam kitabnya madkhol fi ulum al-Qur’an al-karim, bantahan yang dilakukan dengan menjelaskan pendapat-pendapat orang luar sebagai saksi bahwa al-Qur’an tidak mengalami perubahan. Dari tuduhan-tuduhan yang terjadi semacam, al-Qur’an tetap saja tampil perkasa bahwa di dalamnya tidak ada perubahan apapun. Meskipun penilitian dari barat menggunakan bermacam-macam pendekatan, baik dengan cara pendekatan arkelolgi, yaitu dengan mengumpulkan tulisan arab kuno kemudian dicocokkan dengan wujud al-Qur’an sekarang, ada juga dengan mendalami al-Qur’an itu sendiri dengan menghafalkannya, ada juga menggunakan antropolgi, yaitu dengan menonjolkan salah satu sahabat sebagai pelaku yang melakukan perubahan la-Qur’an, seperti sahabat Usman bin Affan dan masih banyak lainnya.

FUNGSI OTORITAS DI DALAM EKSISTENSINYA

Di sub judul pertama, penulis telah menuliskan sebab kelahiran otoritas dari Allah, karena kitab-kitab suci yang telah diamanatkan kepada para ulama setelah para nabi Allah wafat telah banyak di ubah sesuai kehendak masing-masing, ini yang menurut penulis penyebab otoritas penjagaan dari Allah itu muncul. Meskipun dalam prakteknya, penjagaan dilakukan oleh para orang soleh, hanya hakikinya, pelaku sejati adalah Allah sendiri, mereka hanya sebagai pengantar.
Setelah Allah memberikan pernyataan bahwa diri-nya (baca : dzatnya) yang menjaga sendiri al-Qur’an, bagi orang beriman itu bisa menjadi sumber motivasi untuk segala hal, tapi untuk orang tidak beriman, ini bisa menjadi bukti bahwa al-Qur’an buatan nabi Muhammad. Dan akhirnya, fungsi statemen kalam Allah di atas adalah memberi kesadaran kita bahwa kita tidak akan mampu menjaga al-Qur’an dari perubahan tanpa-Nya. Dan perintah yang tersirat terbaca adalah kita bisa menjalankan perintah-perintah agama sesuai petunjuk-petunjuk yang telah dituliskan di dalam al-Qur’an.

Untuk itu, kita perlu heran, kenapa di dalam al-Qur’an banyak pertanyaan, afala ya’qilun? Atau cerita-cerita yang mengingatkan prilaku yang melampui batas dari orang-orang dahulu untuk kita renungkan dan kita jauhi agar bisa menjadi orang yang benar-benar adil yang bertanggung jawab; selain kita mempunyai iman dan Islam. Dalam sisi lain, fungsi otoritas Allah dalam penjagaan, secara politis menciutkan nyali penguasa-penguasa materi untuk merubah al-Qur’an, meskipun hal ini penulis tidak pernah mendengarnya, barangkali hal ini pernah terjadi, ataupun tidak, penjagaan Allah benar-benar menunjukkan tantangan bagi orang-orang yang kurang yakin dan para penguasa. Untuk lebih mendekatkan fungsi ini, logikanya adalah seorang pengarang buku dan penerbit mempunyai hak untuk menuntut orang-orang malgiat tulisannya, apabila pemalgiat benar-benar melakukan tindakan dilarang itu, maka ia mendapat hukuman denda atau semacamnya. Ini fungsi dalam tatanan sosial, apalagi berkenaan dengan kitab suci agama, siksa adalah ancamannya.
Meskipun logika qiyas syahid ala gaib seperti ini banyak ditentang, tapi cara ini untuk memahamkan fungsi otoritas sepenuhnya dari Allah. Epilog Dalam setiap kasus, banyak tersangka menutup mata untuk menenangkan dirinya agar bisa rileks, santai, dan enjoy walaupun itu hari terakhirnya. Serta bisa meng-ikhlaskan dirinya untuk menerima segala keadaan yang ada. Manusia bisa selalu menciptakan usaha yang maksimal, tapi akhir usaha tersebut ada di kekuasaan Allah atau bisa diterjemahkan takdir. Agar kekecewaan tidak menjadi umpan balik dari usaha yang serius, al-Qur’an menuntun manusia ke jalan yang terbuka, lapang, dan lurus.

Telah banyak ujian-ujian untuk kemu’jizatan al-Qur’an tapi al-Qur’an tetaplah yang paling unggul. Di sana otoritas Allah sebagai penjaga sangat central sekali, ini ketara dengan lahirnya metodologi ilmu untuk memahami al-Qur’an, sehingga mereka yang berhasil memahami pasti telah mempunyai bekal akhlak, iman, dan ilmu yang sungguh dipraktekkan dalam dunia nyata. Untuk membuatnya menjadi untuh, al-Qur’an sebagai obat segala macam penyakit dan transportasi segalam macam keinginan, hadir dalam bingkai kebutuhan yang dulu, sekarang dan nanti. Di sana terdapat dua tipe penjelasan, bahasa dan konsepsi. Agar manusia bisa benar-benar mencapai titik nol keutuhan itu, kesalehan adalah syarat mutlak manusia untuk menggapainya. Maka bisa atau tidak bisa, kesalehan menjadi modal utama untuk menempuh segala kebahagian dunia maupun akhirat.

Oleh : Nashifudin Lutfi
Label:
[blogger]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.