Desember 2016

نتيجة بحث الصور عن ‪imam syafi'i‬‏

Siapa yang tidak mengenal seorang mufti besar dan juga pendiri mazhab Syafi’I, beliau adalah Abu Abdullah Muhammad Bin Idris Asy-Syafi’i atau yang kerap dikenal dengan Imam asy-Syafi’I yang lahir pada tahun 105 H di Gaza Palestina dan meninggal pada tahun 204 H di Fushtat, Mesir. Bukan hanya terkenal sebagai mufti, beliau-pun dikenal sebagai manusia yang selalu saja memberikan perkataan-perkataan hikmah. Salah satu contohnya adalah mengenai ilmu yang merupakan cahaya dan cahaya tidak diperuntukkan bagi orang yang bermaksiat.

Sejarah mencatat, disaat Imam Syafi’i sulit untuk mengulangi hafalannya lalu beliau bertanya kepada salah seorang guru yang bernama Waki’ mengenai perihal tersebut. Karena imam Syafi’i terkenal dengan hafalannya yang amat luar biasa, ia telah menghafal al-Quran ketika berumur tujuh tahun dan juga telah menghafal kitab al-Muatho’ pada usia yang cukup belia, yaitu 10 tahun.

Kemudian Imam Waki’ (gurunya) berkata kepada imam Syafi’i tentang mengapa ia tidak bisa mengulangi hafalannya dengan cepat,”engkau pasti pernah melakukan suatu dosa dan cobalah kau renungkan kembali!”. Lalu beliau merenungkan kembali apa yang telah dilakukan, seketika beliaupun teringat, bahwa pernah suatu saat beliau tanpa sengaja melihat seorang wanita yang sedang menaiki kendaraannya lantas terlihatlah mata kaki seorang wanita itu, lalu beliau langsung memalingkan wajahnya. Dengan ketidak-sengajaan tersebut, beliau tidak dapat mengulangi hafalannya dengan cepat seperti biasanya.

Sesungguhnya, noda hitam akan terbentuk dalam hati manusia disaat mereka melakukan dosa tetapi dengan memperbanyak istighfar atau taubat akan menghapuskannya. Dan setiap mereka melakukan kesalahan maka noda tersebut akan bertambah, jika tidak beristighfar noda hitam akan menguasai hatinya.

Hati bagaikan telapak tangan, awalnya dalam keadaan terbuka dan jika berbuat dosa, maka telapak tangan tersebut akan tergenggam. Ketika berbuat dosa maka jari-jemari perlahan-lahan akan menutup. Ibnu al-Qayyim ra. Mengatakan: “Jika hati sudah semakin gelap, maka amat sulit untuk mengenal petunjuk kebenaran”.

Semua kemaksiatan yang dilakukan, baik-besar maupun kecil bermuara pada tiga hal. Pertama, terikat hati kepada selain Allah. Kedua, mengikuti potensi marah. Ketiga, mengikuti hasrat syahwat. Oleh karena itu agar terhindar dari kemaksiatan, manusia harus melakukan lawan dari ketiga hal tersebut. Yaitu, menguatkan keimanan dan hubungan hati dengan Allah SWT dengan senantiasa mengikhlaskan segala amal perbuatan hanya karena Allah. Mengendalikan rasa marah karena marah merupakan pangkal sumber dari kedhaliman yang dilakukan oleh manusia dan menahan diri dari syahwat yang membawa manusia tidak jatuh pada perbuatan zina.

Efek lain dari maksiat adalah lemahnya hati karena dosa akan melemahkan keinginan hati untuk melakukan perbuatan yang baik sedangkan keinginan untuk berbuat dosa semakin besar. Tidak merasa takut atas dosa tersebut sementara keinginan bertaubat-pun sedikit demi sedikit akan melemah, sampai akhirnya tidak ada keinginan sama sekali untuk bertaubat.

Jika setengah saja hati seseorang telah mati maka akan sulit untuk bertaubat. Maka, jika mati semuanya dia akan melakukan istighfar dan taubat dusta karena hatinya telah tertambat dengan perbuatan maksiat. Inilah penyakit hati yang paling berbahaya dan menyebabkan kehancuran bagi kehidupan seseorang, bukan hanya di dunia melainkan juga di akhirat kelak. Tetapi, manusia sebagai insan takkan pernah luput dari kesalahan, baik sengaja maupun tidak disengaja dan taubat atau meminta perlindungan Allah swt merupakan sebuah keniscayaan agar tetap dibukakan pintu keberkahan dan beruntung. Allah berfirman “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah wahai orang-orang yang beriman, supaya kalian beruntung”. (An-nur: 31).

Terbukanya pintu hidayah setiap orang itu tidaklah sama waktunya, tetaplah bersyukur karena Allah telah memberikan kehidupan yang lebih baik. Namun bagi seseorang yang telah berbuat maksiat percayalah bahwa Allah Maha Pengampun. Pintu taubat selalu terbuka bagi hambanya yang ingin bertaubat dan menyadari kesalahannya, seperti firman Allah dalam kitab-Nya “Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya, sesungguhnya Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Az-zumar: 53).

Image result for wudhu
Wudhu dan Hukum-hukum yang Berkaitan dengannya

Oleh: Ainun Jariyah

Sebagai seorang muslim, tentu kita tidak asing dengan aktivitas wudhu. Wudhu merupakan kegiatan bersuci dari hadats kecil dengan cara membasuh anggota badan tertentu dengan air yang suci dan mensucikan disertai dengan niat. Perintah berwudhu disampaikan Allah dalam surat al-Maidah ayat 6.

Kita dianjurkan berwudhu sebelum melakukan ibadah yang mengharuskan dalam keadaan bersuci, seperti ketika akan melakukan sholat, thawaf di Baitullah, ketika membaca Al-Qur’an. Dan juga terdapat amalan ibadah lain yang tidak mengharuskan untuk werwudhu tetapi lebih baik jika dilakukan dalam keadaan suci dari hadast kecil, diantaranya ketika berdzikir dan berdo’a kepada Allah, hendak tidur, melakukan hubungan suami istri dan lain-lain. Disini penulis mencoba mengkaji hukum-hukum yang berkaitan dengannya.

Kata wudhu diambil dari kata وضاءة  yang artinya baik atau bersih. Sedangkan menurut  istilah  syara’ wudhu berarti, ”membasuh, mengalirkan dan membersihkan dengan menggunakan air pada setiap bagian dari anggota-anggota wudhu untuk menghilangkan hadast kecil”. Wudhu merupakan salah satu syarat sah sholat, sebagaimana yang terdapat dalam surah al-Maidah ayat 6, selain itu juga terdapat sejumlah hadits yang menerangkan perintah berwudhu, diantaranya adalah :
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ مُحَمَّدٍ رَسُوْ لِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَذَكَرَ اَحَا دِيْثَ مِنْهَا وَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : لَا تُقْبَلُ صَلَا ةُ اَحَدِكُمْ اِذَا اَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ.
Artinya: Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah Saw. Bersabda; “Tidak diterima sholat seseorang diantara kamu ketika dia berhadats sampai dia melaksanakan wudhu terlebih dahulu.”

Untuk syarat dan rukun wudhu mungkin sudah banyak kalangan yang mengetahui, karena wudhu memang merupakan aktivitas rutin setiap harinya. Namun untuk tata cara, ada sebagian orang yang berbeda dengan yang biasa kita lakukan tapi itu bukan berarti cara mereka salah atau cara kita yang salah. Berikut hukum-hukum yang berkaitan dengan tata cara wudhu:

Pertama: Apakah wajib berwudhu untuk setiap waktu sholat?
Disini terdapat 2 pendapat. Pertama: wajib berwudhu hanya ketika berhadats kecil dan wajib mandi ketika hadats besar. Ini merupakan perkataan Sa’ad ibn abi waqash, Abi musa al-asy’ari dan ibn ‘abbas, dan ahlul fikih. Ini membuktikan bahwa Rasulullah pernah salat lima waktu dengan sekali berwudhu pada fathul makkah dan hal ini dilakukan secara sengaja.

Kedua: wajib berwudhu setiap ingin  sholat, pendapat ini dilihat dari perbuatan nabi yang berwudhu setiap waktu sholat. Dalam hal ini tidak ada yang mentarjihkan salah satu diantara kedua pendapat ini. Tetapi Imam Thobari telah menggabungkan kedua pendapat tersebut dan berkata bahwa perawalan surat al-Maidah ayat 6 yang mewajibkan untuk berwudhu ketika mempunyai hadats merupakan perkara wajib, dan yang berwudhu disetiap sholat merupakan perkara yang sunnah. Sedangkan mengenai fi’l nabi yang sholat lima waktu dalam sekali wudhu merupakan hal sengaja yang beliau lakukan untuk memberitahu umatnya bahwa kebiasaan nabi yang berwudhu dalam setiap waktu sholat bukanlah perkara wajib. Tetapi hal tersebut merupakan hal yang disukai Allah bersuci setiap akan sholat.

Kedua: Apakah siku termasuk anggota wudhu?

Ulama sepakat bahwa membasuh tangan dan lengan merupakan rukun wudhu namun ikhtilaf apakah siku termasuk didalamnya atau tidak? Dalam hal ini ada 2 pendapat. Pertama: dari madzhab jumhur wajib membasuh siku. Kedua: dari ahlu dzohir  dan sahabat-sahabat imam malik mengatakan tidak wajib membasuh siku. Sebab perbedaan ini terdapat dalam huruf ila yang merupakan huruf ghayah yang bisa berarti bahwa siku juga dibasuh dan juga tidak. Namun dalam permasalahan ini yang rajih adalah pendapat jumhur (pertama) dengan alasan untuk kehati-hatian.

Ketiga: Batasan mengusap kepala.

Para Ulama telah bersepakat bahwa mengusap kepala merupakan salah satu rukun wudhu. Akan tetapi ada perbedaan sampai manakah batasan mengusap kepala?. Dalam hal ini terdapat tiga pendapat.

Pendapat pertama: pendapat Malikiyah dan Hanabilah yang mengatakan bahwa wajib mengusap seluruh bagian kepala. Madzhab ini berdalil dengan tiga hal. Pertama, bahwa huruf ba’ dalam kata biru-usikum merupakan huruf tambahan yang berarti tidak bermakna. Maka dapat diartikan “usaplah kepala-kepala kalian” tanpa menyebutkan batasan-batasannya. Kedua, madzhab ini berdalil bahwa huruf ba’  dalam kata biru-usikum sama dengan huruf  ba’ dalam kata biwujuhikum yang berarti “wajah-wajah kalian”. Ketiga, madzhab ini mengatakan bahwa hal tersebut sesuai dengan yang Nabi lakukan yaitu mengusap seluruh bagian kepala saat berwudhu.

Pendapat kedua: Pendapat dari Hanafiyah yang mengatakan wajib mengusap seperempat bagian kepala.

Pendapat ketiga: Syafi’iyah mengatakan cukup mengusap sedikit dari bagian kepala walau itu hanya beberapa helai rambut dengan adanya yakin bahwa telah mengusapnya dengan air.

Hanafiyah dan Syafi’iyah sama-sama berdalil bahwa huruf ba’ dalam kata biru-usikum bermakna tab’id yang berarti sebagian yaitu sebagian kepala. Madzhab ini juga berdalil pada hadits yang menceritakan bahwa Nabi Saw. dalam safarnya berwudhu dengan mengusap ubun-ubunnya. Namun pendapat ini dibantah oleh Imam Qurthubi yang mengatakan bahwa para ulama terdahulu menjawab tentang hadits tersebut. Bahwa pada saat itu Nabi Saw. melakukannya mungkin karena adanya udzur atau karena beliau dalam keadaan safar. Sedangkan safar merupakan tempatnya udzur yang menyebabkan pekerjaan yang terburu-buru serta meringkasnya dan juga jika mengusap seluruh kepala tidak wajib maka tidak mungkin Nabi Saw. Juga berwudhu hingga mengusap sorbannya.

Dalam hal ini Dukturoh Najah Muhammad Hasan yang merupakan dosen mata kuliah Tafsir ayat ahkam universitas al-Azhar sekaligus penulis kitab rujukan penulis. Beliau tidak menyebutkan pendapat yang rajih diantara ketiga pendapat tersebut, namun beliau mencoba menggabungkan ketiga pendapat tersebut. Beliau mengatakan bahwa huruf ba’ dalam Bahasa arab berarti tab’id (sebagian), sedangkan jika dianggap sebagai huruf zaidah (tambahan) itu menyalahi qoidah asalnya. Maka, beliau meringkas bahwa Wajib hukumnya mengusap sebagian kepala dan Sunnah mengusap semua bagian kepala. Maka pendapat Syafi’iyah dan Hanafiyah yang jelas namun pendapat Malikiyah dan Hanabilah merupakan kehati-hatian. Wallahu a’lam.

Keempat: Apakah membersihkan kedua kaki cukup dengan membasuh atau mengusap?

Kedua kaki merupakan salah satu rukun wudhu dan ini sudah disepakati para ulama terdahulu. Hanya saja masih ada perbedaan tentang hal membersihkannya cukup diusap atau harus dibasuh. Imam Qurthubi berkata bahwa sebagian ulama berbeda dalam membaca huruf lam dalam kalimat. arjul, Nafi’ ibn ‘aamir dan Kasa-ii membacanya dengan nashab (fathah) pada huruf lam. Sedangkan Hasan dan a’masy sulaiman membacanya dengan rafa’ (dhommah). Dan ada juga yang membacanya dengan jar (kasrah), yaitu Abu ‘amru dan Hamzah. Dari perbedaan cara baca ini lahirlah perbedaan pendapat dan hukum pula karena dalam bahasa arab perubahan harokat pada huruf mempengaruhi arti.

Pendapat pertama, Pendapat dari jumhur, bahwa yang membaca dengan fathah pada huruf lam wajib membasuh kedua kakinya bukan sekedar mengusap sebagaimana Nabi Saw. melakukannya saat berwudhu.

Pendapat kedua, Pendapat Imam Thobari yang mengatakan bahwa barang siapa yang membaca huruf lam dengan kasroh wajib baginya hanya mengusap. Kemudian ada juga sebagian ulama yang mencoba mengambil jalan tengah dari kedua pendapat ini hingga lahirlah pendapat yang lain.

Pendapat ketiga, pendapat dari ibn jarir ath-thobari yang mengatakan boleh memilih diantara keduanya membasuh atau cukup mengusap.

Pendapat keempat, nuhas yang berpendapat mengenai membasuh ataupun mengusap tergantung pada bagaimana kita membaca huruf lam tersebut. Jika kita membacanya dengan harokat fathah maka wajib baginya untuk membasuh kedua kakinya, sedangkan bagi yang membacanya dengan harokat kasrah wajib baginya mengusap kedua kakinya tidak perlu membasuh.


Pendapat kelima, ibn ‘athiyah yang mengatakan bahwa lafadz wamsahu (mashu) merupakan lafadz musytarak yang tak sekedar berarti mengusap tapi juga berarti membasuh.kemudian ada pula yang menengahi diantara kelima pendapat ini yang berpendapat bahwa saat dibaca dengan harokat kasrahpun maknanya membasuh karena memiliki makna musytarok dan yang membaca fathah pun berarti membasuh dan hal ini juga sebagaimana yang Nabi Saw. kerjakan saat berwudhu. Maka dalam permasalahan ini dirajihkan pendapat yang mengatakan wajib membasuh kedua kaki ketika berwudhu. Wallahu A’lam bish showab.

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.