HUKUM MENIKAHI NON-MUSLIMAH

HUKUM MENIKAHI NON-MUSLIMAH

oleh: Andi Alfiyansyah

Dewasa ini banyak kita jumpai kasus dimana seseorang yang melakukan pernikahan meskipun memiliki perbedaan kepercayaan atau agama.

Maka diambillah sebuah ayat yang akan menjadi sumber pembahasan. Yaitu ayat 221 dari Surah al-Baqarah. Berikut terjemahan lengkapnya.

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”
·          Asbabun nuzul dari ayat ini sebagaimana dijelaskan dalam kitab tafsir Ruh Al-Ma’ani bahwa pada Suatu hari Abdullah bin Rawahah datang menghadap kepada Rasulullah SAW, dan menyatakan bahwa dia sangat menyesal telah menempeleng budak hitam wanita miliknya. Sungguh Abdullah merasa menyesal telah melakukan itu dan berharap budaknya mau memaafkannya. Rasulullah berkata: ‘siapakah budakmu itu?’ Abdullah menjawab: ‘Dia wahai Rasulullah, berpuasa, mendirikan shalat dan memperbaiki wudhunya dan dia juga telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. ‘Wahai Abdullah. budakmu itu seorang Muslimah.’ Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan kebenaran, aku akan memerdekakan dan menikahinya. Maka berkatalah orang-orang. ‘Dia menikahi seoarang budak’. Kejadian ini tentu saja membuat heran dan mengejutkan para sahabatnya, bagaimana mungkin seorang pemimpin suku yang dipilih sebagai utusan pada hari Aqobah menikahi seorang budak hitam. Sungguh tidak sepadan dengan kedudukannya yang mulia. Sebenarnya ia dapat saja menikahi seorang wanita mulia dari kaumnya, meskipun bukan seorang Muslimah(musyrik). Allah Subhanahu wa ta’ala kemudian menurunkan sebuah ayat sebagai berikut:
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintahNya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (Q.S. Al Baqarah : 221)
·          Selain itu juga dipaparkan asbabun nuzul dari kitan Tafsir Al-Kabir. “Diriwayatkan oleh  Wahidi dari Ibnu Abbas, katanya, ‘Ayat ini diturunkan mengenai Martsad bin Abu Martsad sebagai utusan untuk bani hasyim. Demi mengeluarkan kaum muslimin dimekkah secara sembunyi-sembunyi. Ketika Martsad Ra telah tiba. Datang seorang wanita yang dikenal dengan nama anaq kholilah yang ketika itu masih jahiliyyah. Martsad Ra pun meminta izin kepada Nabi saw. untuk mengawini wanita musyrik tersebut Maka turunlah ayat ini.’”

Ini adalah pengharaman bagi kaum muslimin untuk menikahi wanita-wanita musyrik. Hal itu jika yang dimaksudkan adalah kaum wanita musyrik secara umum yang mencakup semua wanita, baik dari kalangan Ahlul Kitab maupun penyembah berhala.

Perbedaan itu berimbas pada 2 pendapat tentang kedudukan musyrik di sini. Ada yang mengatakan bahwa itu umum, baik penyembah berhala ataupun Ahlul Kitab. Ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksud musyrikin di sini adalah cuma penyembah berhala. Dari sini terjadi perbedaan pendapat dalam menikahi wanita Ahlul Kitab, akan tetapi mereka sepakat bahwa haram hukumnya menikahi wanita penyembah berhala.
Maka Allah Ta’ala telah mengkhususkan wanita Ahlul Kitab, melalui firman-Nya:
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُم

“(Dan dihalalkan menikahi) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu.”(QS. Al-Maidah: 5).

Mengenai firman Allah Ta’ala: wa laa tankihul musyrikaati hattaa yu’minn (“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman,”) Ali bin Abi Thalhah mengatakan: “Dalam hal ini, Allah swt. telah mengecualikan wanita-wanita Ahlul Kitab.” Hal senada juga dikatakan oleh Mujahid, Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Makhul

·         Siapakah ahlul kitab ?

Allah Ta’ala berfirman,

وَقُلْ لِلَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ
“Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab.” (QS. Ali Imron: 20)

Ayat ini ditujukan pada Ahli Kitab di zaman Nabi SAW. Padahal ajaran Ahli Kitab yang hidup di zaman beliau sudah mengalami penghapusan dan penggantian. Maka ayat ini menunjukkan bahwa siapa saja yang menisbatkan dirinya pada Yahudi dan Nasrani, merekalah ahli kitab. Ayat ini bukan khusus membicarakan ahli kitab yang betul-betul berpegang teguh dengan Al Kitab (tanpa penghapusan dan penggantian). Begitu pula tidak ada perbedaan antara anak Yahudi dan Nasrani yang hidup setelah adanya penggantian Injil dan Taurat di sana-sini dan yang hidup sebelumnya. Jika setelah adanya perubahan Injil-Taurat di sana-sini, anak Yahudi dan Nasrani disebut ahli kitab, begitu pula ketika anak Yahudi dan Nashrani tersebut hidup sebelum adanya perubahan Taurat-Injil, mereka juga disebut Ahli Kitab dan mereka kafir jika tidak mengimani Muhammad SAW. Oleh karena itu, Allah Ta’ala tetap mengatakan kepada orang Yahudi dan Nashrani yang hidup di zaman beliau,

وَقُلْ لِلَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ

“Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab.” (QS. Ali Imron: 20)

Allah tentu saja mengatakan hal ini kepada orang yang hidup di zaman Nabi SAW ketika beliau diperintahkan menyampaikan wahyu. Dan tidak mungkin ditujukan kepada Yahudi dan Nashrani yang telah mati.
Jadi kesimpulannya, orang Yahudi dan Nasrani di zaman Nabi dan juga yang hidup di zaman ini termasuk ahlul kitab, walaupun mereka sudah tidak lagi berpegang dengan kitab mereka yang asli dan kitab mereka telah mengalami perubahan di sana-sini. Dan pendapat inilah yang di-rajih-kan jumhur ulama.

Disamping itu Allah SWT telah membedakan penyebutan secara jelas antara orang-orang Musyrik dan Ahlul Kitab. Seperti dalam surah al-Baqarah ayat 105.

مَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلَا الْمُشْرِكِينَ أَنْ يُنَزَّلَ عَلَيْكُمْ مِنْ خَيْرٍ مِنْ رَبِّكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَخْتَصُّ بِرَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ

“Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar.”
Dan surah al-Bayyinah ayat 1:
لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّىٰ تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَة
“Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata.”

Semoga bahasan singkat ini bermanfaat.





Label:
[blogger]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.